Catatan Bahasa Bali 24 September 2022
Kruna
Gatra | nulis | surat | di mejane ibi sanja |
Jejering Lengkara (JL) | Linging Lengkara (LL) | Panandang Lengkara | Pidartaning Lengkara genah lan dauh/Kala |
Kruna
Gatra | nulis | surat | di mejane ibi sanja |
Jejering Lengkara (JL) | Linging Lengkara (LL) | Panandang Lengkara | Pidartaning Lengkara genah lan dauh/Kala |
1.Kerajaan Kutai
Pendiri Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai yang terkenal sebagai kerajaan hindu tertua di Indonesia merupakan kerajaan yang memiliki sejarah panjang sebagai cikal bakal lahirnya kerajaan-kerajaan lainnya di Indonesia. Nama Kutai sendiri diketahui oleh para ahli mitologi saat setelah ditemukannya sebuah prasasti, yaitu Yupa. Prasasti Yupa diidentifikasi sebagai peninggalan asli dari pengaruh agama hindu dan budha yang menggunakan bahasa sansekerta dengan huruf pallawa.
Dari prasasti inilah kemudian ditemukan nama Raja Kudungga sebagai pendiri Kerajaan Kutai. Nama Maharaja Kudungga ini ditafsirkan oleh para ahli sejarah sebagai nama asli Indonesia yang belum terpengaruh dengan bahasa India. Sedangkan keturunannya seperti Raja Mulawarman dan Aswawarman diduga memiliki pengaruh besar budaya hindu dari India.
Hal tersebut dikarenakan kata “Warman” pada setiap akhiran namanya berasal dari bahasa sansekerta yang biasa digunakan oleh masyarakat India bagian selatan. Inilah yang mengakibatkan banyak orang menyebut bahwa Kerajaan Kutai merupakan kerajaan yang bercorak hindu dengan pengaruh budaya India begitu kental. Tak heran jika pola kehidupan pada masa itu juga menyerupai kehidupan kerajaan-kerajaan hindu di India.
Selanjutnya dari Prasasti Yupa diketahui juga nama-nama raja yang memerintah Kerajaan Kutai setelah wafatnya pendiri tersebut, yaitu sebanyak 20 generasi sebagai berikut:
Dari 20 generasi tersebut, raja yang terkenal adalah Raja Mulawarman. Namun, setelah peninggalan Raja Kudungga, Kutai dipimpin oleh Aswawarman. Pemerintahan Aswawarman tidak berlangsung lama yang kemudian digantikan oleh anaknya, Mulawarman.
Kejayaan pada masa pemerintahan Raja Mulawarman ditulis dalam Prasasti Yupa. Dalam prasasti tersebut dikatakan bahwa Mulawarman telah melakukan upacara pengorbanan emas yang jumlahnya sangat banyak. Emas tersebut dibagikan kepada para rakyatnya, selain itu juga dijadikan sebagai persembahan kepada para dewa.
Selanjutnya masa kejayaan pemerintahan Mulawarman bukan hanya ditandai dari bukti tertulis dalam Prasasti Yupa saja. Banyak aspek yang mendorong kerajaan tersebut mencapai masa keemasaanya. Adapun jika dilihat dari beberapa aspek lainnya adalah sebagai berikut:
Kehidupan sosial pada kerajaan ini ditandai dengan adanya golongan terdidik yang banyak. Golongan terdidik ini menguasai bahasa sansekerta serta huruf pallawa. Adapun golongan tersebut adalah golongan brahmana dan ksatria. Golongan ksatria terdiri dari kerabat Raja Mulawarman pada masa itu.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya upacara pemberkatan seseorang yang memeluk agama hindu. Dimana para brahmana memakai bahasa sansekerta yang sering digunakan pada prosesi adat tertentu, namun sulit untuk dipelajari. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pada masa itu, para brahmana memilik intelektual yang tinggi.
Pada masa pemerintahan Raja Mulawarman, stabilitas politik begitu terjaga. Sistem politik menjadi kekuatan yang besar pengaruhnya dalam memimpin suatu kerajaan. Hal tersebut juga disebutkan di Prasasti Yupa bahwa Raja Mulawarman dikatakan menjadi raja yang berkuasa, kuat serta bijaksana.
Secara jelas isi Prasasti Yupa tersebut adalah “Sang Maharaja Kudungga yang amat mulia mempunyai putra yang manshur, bernama Sang Aswawarman, ia seperti Sang Ansuman (Dewa Matahari) dengan menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman memiliki putra tiga, seperti api yang suci berjumlah tiga. Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mulawarman, raja yang baik, kuat, dan bijaksana. Sang Mulawarman telah melakukan kenduri dengan emas yang amat banyak. Karena kenduri itulah tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana.” Dari sinilah kita dapat mengetahui kekuatan politik dari Raja Mulawarman. Begitu kuatnya, hingga rakyat dan para golongan brahmana pun mendirikan tugu sebagai bukti bahwa dirinya sangat berkuasa pada masa itu.
Letak kerajaan yang berada dekat dengan Sungai Mahakam, membuat rakyatnya begitu mudah untuk bercocok tanam. Hal tersebut menjadi mata pencaharian utama, sedangkan lainnya lebih banyak beternak sapi dan berdagang. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan tertulis yang mengatakan bahwa Raja Mulawarman pernah memberikan 20.000 ekor sapi kepada para brahmana.Selain itu, Kerajaan Kutai juga menerapkan sistem penarikan hadiah yang harus diberikan kepada raja bagi pedagang luar yang ingin berdagang di daerah Kutai. Pemberian hadiah biasanya berupa barang yang mahal atau upeti yang dianggap sebagai pajak. Oleh sebab itu, Kutai mendapatkan banyak pemasukan dari berbagai sumber.
Kehidupan masyarakat Kutai begitu kental dengan dengan keyakinannya pada leluhur. Terbukti dengan adanya Prasasti Yupa yang berbentuk seperti tugu batu. Jika dilihat asal usulnya, tugu batu sendiri merupakan peninggalan nenek moyang pada Zaman Megalitikum.
Kemudian terdapat menhir dan batu berundak, selain itu dalam prasati yupa menyebutkan tempat pemujaan yang suci bernama Waprakeswara (tempat pemujaan dewa siwa). Oleh sebab itu, diyakini bahwa bahwa Raja sebagai penganut agama hindu siwa bercampur dengan golongan brahmana. Sedangkan rakyatnya dibebaskan untuk menganut agama hindu dalam aliran lainnya.
Masa kejayaan tersebut tak berlangsung lama, setelah Raja Mulawarman wafat, Kutai banyak mengalami pergantian pemimpin. Hingga akhirnya kerajaan ini runtuh, pada masa kepemimpinan Raja Dharma Setia. Telah dikabarkan bahwa Raja Dharma Setia tewas dibunuh oleh penguasa Kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu Pangeran Anum Panji Mandapa pada abad ke-13 M.
Perlu diketahui bahwa kerajaan Kutai Kartanegara berbeda dengan Kerajaan Kutai yang dipimpin oleh Mulawarman. Kerajaan Kutai Kartanegara terletak di Tanjung Kute. Kemudian kerajaan inilah yang disebut dalam Kitab Negarakertagama pada tahun 1365.
Selanjutnya dalam perkembangannya Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi kerajaan islam yang disebut dengan Kesultanan Kutai Kartanegara. Inilah awal mula keruntuhan Kutai Mulawarman yang disebut juga dengan Kutai Martadipura. Selanjutnya kekuasaan diambil alih oleh Kesultanan Kutai Kertanegara.
Peninggalan Kerajaan Kutai yang penting dan tersohor adalah tujuh buah Prasasti Yupa yang bertuliskan dengan huruf pallawa dalam bahasa sansekerta. Prasasti ini banyak memberikan cerita tentang sejarah dari keluarga Kerajaan Kutai. Yupa sendiri merupakan tugu bantu dengan tinggi sekitar 1 meter yang tertanam di atas tanah, mirip seperti tiang yang berukuran besarPada bagian bawah permukaan, terukir tulisan Prasasti Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dipercaya bahwa maksud orang terdahulu menulis kalimat tersebut adalah untuk memperkenalkan kerajaannya. Selain itu, Yupa sendiri memiliki fungsi sebagai prasasti, tiang pengikat hewan, serta lambang kebesaran raja.
Adapun isi dari tujuh Yupa yang telah diterjemahkan oleh para ahli adalah sebagai berikut:
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Kerajaan Kutai Martadipura (Mulawarman), berdirilah Kerajaan Kutai Kartanegara. Kerajaan ini berdiri Tanjung Kue, Kalimantan Timur. Namun, saat ini letak kerajaan tersebut diketahui hanya tersisa semak belukar dan makam kuno yang dipercaya sebagai makam keramat.
Kerajaan Kutai Kartanegara disebut juga dalam hikayat raja-raja pasir dan kitab pararaton. Selain itu, cerita masyarakat tentang kerajaan ini dituangkan dalam buku Salasilah Kutai. Yaitu sebuah buku atau kitab dengan bahasa arab melayu untuk mengisahkan kehidupan raja-raja pada masa itu.
Kisah Kerajaan Kutai dimulai dari seorang kepala suku jahitan layar yang memiliki masalah karena belum dikaruniai keturunan setelah lama berumah tangga. Kemudian ia mendapat bola emas secara ajaib yang didalamnya terdapat anak laki-laki. Lantas anak itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Pada waktu yang bersamaan, kepala suku hulu dusun juga menemukan seorang anak perempuan yang berada di atas buih Sungai Mahakam. Anak perempuan ini kemudian diberi nama Putri Karang Melenu atau Putri Junjung Buih. Kedua anak tersebut, yaitu Aji Batara dan Putri Melenu setelah dewasa menikah dan melahirkan seorang keturunan.
Keturunannya ini adalah seorang anak laki-laki yang dikenal dengan nama Aji Paduka Nira. Setelah anaknya lahir, Aji Batara akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan jauh ke tanah jawa, yaitu Kerajaan Majapahit. Sayangnya, karena ditinggal terlalu lama, Putri Melenu tak tahan hidup sendiri, sehingga menyeburkan dirinya ke Sungai Mahakam.
Setelah kepulangannya, Aji Batara bersedih hati mengetahui istrinya telah tiada. Akhirnya ia melakukan hal sama dengan menceburkan dirinya ke Sungai Mahakam seperti istrinya. Setelah kedua orang tuanya tiada, Aji Paduka Nira menjadi raja yang sah kedua untuk memimpin Kerajaan Kutai Kartanegara.
Aji Paduka Nira pun akhirnya menikahi seorang Putri yang bernama Putri Paduka Suri. Dari perkawinannya ini lahirlah keturunan yang berjumlah 7 orang anak. Yaitu diantaranya 5 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan.
Diketahui bahwa istrinya tersebut merupakan keturunan Kerajaan Kutai Martadipura (Mulawarman). Ia merupakan anak dari Raja Guna Perana Tungga, keturunan dari generasi ke- 20. Setelah menikah, namanya dikenal dengan Putri Paduka Suri, sedangkan nama aslinya adalah Indra Perwati Dewi.
Salah satu tujuan dari pernikahan ini adalah untuk memperkuat kekuataan politik kerajaan. Namun, banyak yang menyimpulkan bahwa pernikahan ini hanya untuk menghindarkan perselisihan antara kedua kerajaan. Setelah masa kepemimpinannya selesai, Kerajaan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Maharaja Sultan.
Untuk memperluas ilmu serta kekuasaannya, Maharaja Sultan pergi ke Majapahit untuk menimba pengetahuan. Setelah kepulangannya dari Majapahit, Maharja Sultan menikah dengan Aji Paduka Sari dan dikaruniai anak yang bernama Mandarsyah. Tak berlangsung lama, akhirnya kepemimpinan ayahnya ini diserahkan kepada anak tersebut, yaitu Raja Mandarsyah.
Pada usia 4 tahun, ayahnya tersebut meninggal dunia. Oleh karena itu, ia dinobatkan sebagai raja setelah beranjak dewasa sebagai pewaris tunggal yang sah. Namun, Raja Mandrasyah tidak dikaruniai keturunan selama masa kepemimpinannya. Sehingga ia harus menyerahkan kepemimpinannya kepada Tumenggung Baya-Baya, hingga akhir kepemimpinan yang terus berganti dengan penerus-penerus baru.
Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan kerajaan yang memiliki silsilah panjang. Hal ini juga dikarenakan perembangan dan transisi masa perubahan keyakinan, yaitu hindu ke islam. Oleh sebab itu, kerajaan ini juga dikenal dengan kesultanan. Berikut adalah silsilah kepemimpinan Kerajaan Kutai Kartanegara:
Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan Hindhu tertua di Pulau Jawa. Tarumanegara berasal dari dua kata, yaitu Taruma, diambil dari nama sungai yang membelah Jawa Barat. Serta Negara yang artinya kerajaan atau negara. Keberadaan Kerajaan Tarumanegara juga diperkuat dari berita Tiongkok yang menyebut Tolomo untuk Kerajaan Tarumanegara. Selain itu juga dari kisah Gulawarman, pendeta dari Khasmir yang mengatakan bahwa agama yang dianut rakyat Tarumanegara adalah Hindhu.Kerajaan Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada 358-382 Masehi, di tepi Sungai Citarum yang saat ini masuk dalam Kabupaten Lebak, Banten. Kerajaan Tarumanegara mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan raja Purnawarman. Hal tersebut dibuktikan dengan penemuan beberapa prasasti, seperti prasasti Tugu, prasasti Cidanghiang, prasasti Ciaruteun, dan prasasti Jambu.
Dengan demikian, Tarumanegara merupakan kerajaan Hindu yang berdiri sekitar abad ke-4 Masehi dan mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Purnawarma.
3.Prasasti Tugu
PADA awal penemuannya tahun 1878, Prasasti Tugu dijadikan tontonan dan dikeramatkan. Prasasti Tugu ditemukan di kampung Batutumbuh, desa Tugu—dulu masuk Bekasi—sekarang menjadi wilayah kelurahan Tugu selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.
Prasasti Tugu merupakan prasasti terpanjang yang dikeluarkan oleh Purnawarman penguasa Kerajaan Tarumanegara, berisi keterangan mengenai penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.
Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnnawarman dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
Pada 1911, prasasti ini dipindahkan ke Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen kini Museum Nasional.
Pada 1973, diadakan penggalian arkeologi di lokasi penemuan Prasasti Tugu. Dalam penggalian tersebut ditemukan sejumlah pecahan gerabah dari berbagai jenis, pola hias, dan ukuran yang mempunyai persamaan dengan gerabah Kompleks Buni.
Pada Prasasti Tugu ini terdapat pahatan hiasan tongkat yang ujungnya dilengkapi semacam trisula. Gambar tongkat tersebut dipahatkan tegak memanjang ke bawah seakan berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir kalimat-kalimat pada prasastinya.
Mengutip Ensklopedia Jakarta (Eni Setiati Dkk, 2009), Ahli Filologi Prof Ng Poerbatjaraka menguraikan, kata Candrabhaga dalam Prasasti Tugu menjadi dua kata, yaitu Candra dan Bhaga. Kata Chandra dalam bahasa sansekerta adalah sama dengan kata “sasi” dalam bahasa Jawa Kuno.
Candrabhaga identik dengan kata “Sasibhaga”, yang diterjemahkan secara terbalik menjadi “Bhagasi”, dan lama-kelamaan mengalami perubahan penulisan dan sebutan.
Beberapa arsip abad ke-19 sampai awal 20, menerapkan kata “Backassie”, “Backasie”, “Bakassie”, “Bekassie, “Bekassi”, dan terakhir “Bekasi”.
Prasasti Tugu dipahatkan pada batu andesit berbentuk bulat telur dengan tinggi 1 meter.
pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina
“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) beliau pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paro terang bulan Caitra,jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”
4.Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan di aliran Sungai Ciaruteun, Desa Ciaruteun Ilir, Kabupaten Bogor pada 1863. Lokasi penemuan tidak jauh dari Sungai Cisadane, Bogor. Tempat ditemukannya prasasti ini adalah bukit (bahasa Sunda pasir) yang diampit oleh tiga sungai, yaitu Cisadane, Cianten, dan Ciaruteun. Prasasti Ciaruteun diketahui keberadaannya berdasarkan laporan pimpinan Bataviaasch Genootschap van Kunstenen Wetenschappen (sekarang Museum Nasional). Prasasti ini merupakan peninggalan kerajaan Tarumanegara. Pada 1893, letak prasasti berubah karena di terjang banjir. Kondisi ini membuat tulisan yang ada di prasasti menghadap ke bawah. Kemudian, letak prasasti diperbaiki seperti semula pada 1903. Pada 1981, batu prasasti dipindahkan ke atas ke tempat saat ini di Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir. Pemindahan dilakukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Isi Prasasti Ciaruteun Prasasti Ciaruteun merupakan batu peringatan yang berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara sekitar abad V Masehi. Prasasti ditandai dengan bentuk tapak kaki Raja Purnawarman. Prasasti dipahat pada sebongkah batu andesit yang ditulis dengan huruf Pallawa berbahasa Sanskerta. Prasasti ditulis dalam bentuk puisi India dengan irama anustubh terdiri dari 4 baris. Berdasarkan pembacaannya oleh Poerbatjaraka, prasasti berbunyi: vikkranta syavani pateh srimatah purnnavarmmanah tarumanagarendrasya visnoriva padadvayam Yang artinya" "Ini (bekas) dua kaki, yang seperti kaki dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia" Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tempat ditemukannya prasasti tersebut. Hal ini berarti menegaskan letak Purnawarman yang diibaratkan Dewa Wisnu karena dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat. Prasasti Ciaruteun disebutkan dan dibicarakan oleh N.W. Hoepermans (1864), J.F.G. Brumud (1868), A.B. Cohen Stuart (1875), P.J. Veth (1878, 1896), H. Kern (1882,1917), R.D.M. Verbeek (1891), C.M. Pleyte (1905/1906), N.J. Krom (1915, 1931), J.Ph. Vogel (1925), dan R.M. Ng. Poerbatjaraka (1952).
5.Prasasti kebon kopi
Prasasti Kebonkopi I (dinamakan demikian untuk dibedakan dari Prasasti Tapak Gajah (karena terdapat pahatan tapak kaki gajah),merupakan salah satu peninggalan kerajaan Tarumanagara . Prasasti ini menampilkan ukiran tapak kaki gajah, yang mungkin merupakan tunggangan raja Purnawarman, yang disamakan dengan gajah Airawara, wahana Dewa Indra.